BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kulit
merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagiantubuh,
membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Kulit memiliki fungsi melindungi
bagian tubuh dari berbagai macamgangguan dan rangsangan luar. Fungsi
perlindungan ini terjadi melalui sejumlahmekanisme biologis, seperti
pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah
mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat
serta pembentukan pigmenmelanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra
violet matahari. Kulit
merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi
klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat.
Obat adalah bahan kimia yang
digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau
gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksiyang tidak diharapkan
yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak
organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang, tetapi reaksi kulit
merupakan manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga
(predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang
obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya
berhubungan dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang telah diketahui.
Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat
termasuk diantaranya efek samping dan overdosis (kelebihan dosis). Rekasi
simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang
rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek
farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat
pada kulit disebut erupsi alergi obat. Erupsi obat alergi itu sendiri ialah
reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat dengan cara sistemik.
Pemberian
dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung,
rectum, vagina dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang
disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan
pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak
alergi. Tidak semua obat dapat mengakibatkan
reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh
pemakaian akan mengalami erupsi obat alergi atau erupsi obat. Obat-obatan
tersebut yaitu : obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik : misalnya
penisilin dan derivatnya, sulfonamide dan obat-obat antikonvulsan.
Menurut WHO,
sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong ‘serius’ karena
reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit
bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Nekrolisis
Epidermal Toksis (TEN) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut. Epidemiologi dari erupsi obat ini
belum didapatkan angka yang tepat tetapi berdasarkan data yang berasal dari
rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari
dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian
obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian
obat-obatan.
Hasil survey
prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug
Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian
penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% dari seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi
obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000
jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius.
Untuk itu
perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi
yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa
yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting
untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan
membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.
B. Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Mahasiswa
mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Fixed
Drugs Eruption ( FDE ).
2.
Tujuan
Khusus
Mahasiswa
mampu:
a.
Mengetahui
pengertian Fixed Drugs Eruption ( FDE ).
b.
Mengetahui
penyebab Fixed Drugs Eruption ( FDE ).
c.
Mengetahui
patofisiologi Fixed
Drugs Eruption ( FDE ).
d.
Menjelaskan
manifestasi Fixed Drugs
Eruption ( FDE ).
e.
Mengetahui klasifikasi Fixed Drugs Eruption ( FDE ).
f.
Mengetahui pemeriksaan penunjang pada Fixed Drugs
Eruption ( FDE ).
g.
Mengetahui penatalaksanaan pasien Fixed Drugs Eruption
( FDE ).
BAB II
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Erupsi
obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik
pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat
yang biasanya sistemik. ( Nur Arif, 2013 )
Erupsi
obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu
atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran
lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran
yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang
sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama. ( Amin Huda, 2008 )
B. ETIOLOGI
Jenis obat penyebab
alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian
yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat
dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi
alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan
tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa,
salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik
lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif
(terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin,
meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering
dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya
erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan imunologik (alergik),
tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik,
erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah
tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah
awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau
metabolitnya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein,
misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen
yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat molekul yang tinggi dapat
berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya
erupsi obat.
D. MANIFESTASI
KLINIS
Manifestasi
alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe
I sampai dengan IV).
1.
Tipe I
(Hipersensivitas Tipe Cepat)
Manifestasi
yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE
yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas
kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa
sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai
edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b)
Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat
terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi
klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian
obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang
tersering adalah penisilin.
Pada
tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a.
Fase sensitasi yaitu
waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
b.
Fase aktivasi yaitu
fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini
sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat
menimbulkan reaksi;
c.
Fase efektor yaitu
fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator.
2. Tipe II
Reaksi
hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM
atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel
yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi
klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis
interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
3.
Tipe III
Reaksi
ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap
pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini
akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi
klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a.
Demam
b.
Limfadenopati
c.
Kelainan sendia,
artralgia dan efusi sendi
d.
Urtikaria, angiodema,
eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai
pruritis
e.
Lainnnya seperti
kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus
eritematosus sistemk serta vaskulitis
f.
Gejala tadi timbul 5
– 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat
tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.
4.
Tipe IV
Reaksi
tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga
dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler).
Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T
yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai
jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a.
Cutaneous Basophil Hypersensitivity
b.
Hipersensivitas
kontak (kontak dermatits)
c.
Reaksi tuberculin
d.
Reaksi granuloma.
Manifestasi
klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak,
batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi
ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan
hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang –
kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya,
pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah
sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam setelah obat dioleskan
E. PATHWAYS
( terlampir )
.
F. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi
adalah :
a.
Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang
bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan
uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini
manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat
yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin, antisera, ekstrak
organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :
1)
Uji Tempel (patch
test)
Uji
tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan
uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya
daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan
positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan
reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih
ringan.
2)
Uji Tusuk (prick/scratch
test)
Uji
tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya
deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai
bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau
metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk
menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif
untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat
karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah
diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul
sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil
negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
3)
Uji Provokasi (exposure
test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat,
tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang
berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan
ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji
provokasi merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya
anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan
hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi
yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.
b. Pemeriksaan in vitro
Uji
in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan
(basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan
pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen
dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan dari uji ini
untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut
disebabkan karena obat atau bukan.
G. PENATALAKSANAAN
1.
Penatalaksanaan Umum
a.
Melindungi kulit,
pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan
segera
b.
Menjaga kondisi
pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan
timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan;
c.
Transfusi darah bila
terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya pada kasus yang
disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;
d.
Menjaga kondisi fisik
pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus
bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting
karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa
glukosa 5% dan larutan Darrow.
2.
Penatalaksanaan
Khusus
a.
Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi
obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada
kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar
untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema
multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah menghentikan obat
yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif seperti
perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk
pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin(IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini
dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75
g/kg selama 4 hari pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga
diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang
jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
b. Topikal
Pengobatan
topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika
dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam
keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada
bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa
eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin
10% yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut
dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sofratulleatau krim sulfadiazin perak.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a. Umum
Keadaan umumnya bervariasi dari sedang sampai berat. Pada kondisi yang
berat. Tergantung derajat mortilitas erupsi obat. Bila derajat 1 biasanya
keadaan umum pasien ringan, derajat 2 dan 3 berat. Keadaan berat bila
terjadinya erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan,
pseudomembran klien mengalami kesulitan bernafas, dan bula antara 10-30% dan
telah terjadi infeksi pada kulit, Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau
bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh, mukosa berupa vesikel, bula,
erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah.Keadaan umum sedang
biasa bila menunjukkan gejala awal, ruam, gatal, demam, nausea.
b. Pengkajian
kesadaran
Pasien dengan erupsi
obat pada kondisi yang berat, kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
1)
Pain : Pada psien derajat 2 lepasnya lapisan epidermis antara
10-30% . Klien biasanya meringis saat di perintahkan dengan perintah sederhana
karena adanya kerusakan saraf perifer
2)
Unresponsive : pada pasien dengan derajat 3 lepasnya lapisan epidermis lebih
dari 30%. Pasien dengan overload SJS dan TEM dalam keadaan koma
c. Riwayat
Penyakit Sekarang
Klien datang dengan keadaan terdapat trias SJS yaitu terdapat bula,
eritema, dan vesikel pada mata, mukosa bibir, dan kulit.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah terkena
atau sedang menjalani pengobatan penyakit Infeksi virus herpes simplex, dan Mycoplasma
pneumonia, Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili,
Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma
venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses
diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak. Alergi obat secara sistemik (
misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
e. Riwayat Penyakit
Keluarga
Bila terdapat keluarga alergi obat dan berasal dari ras krustesea
f.
Tanda-tanda vital
Pengkajian terhadap adanya demam tinggi, dan adanya
takikardi
g. Pengkajian
fisik (Head toe toes)
1)
Wajah
Eritema, vesikel dan bula
2)
Mata
Kelopak
mata : Edema dan sulit dibuka.
Konjungtiva
: Konjungtivitis kataralis dan purulen
Kornea
: Ulkus kornea
Reaksi
cahaya : Positif
Lapang
penglihatan : Penyempitan lapangan penglihatan
3)
Mulut dan leher
Mukosa
bibir : Bengkak, kering, warna mukosa merah
Selaput
lendir : Stomatitis, afte (vesikel, bula), erosi,
perdarahan
Disfagia :
Ada
Lidah : Terdapat lesi
Tonsil/pharix : Meradang Ketidakmampuan
menelan
4)
Paru-paru
Inspeksi Bentuk dada simetris kanan dan kiri,
terdapat sumbatan pada jalan napas, klien tampak sesak, terdengar stridor saat ekspirasi/inspirasi,
retraksi dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan, frekuensi pernafasan
> 20 x/menit, reflek bentuk ada, pernapasan cepat dan dangkal, klien batuk.
Auskultasi Bunyi napas vesikuler, wheezing (+),
Ronkhi (+)
5)
Kardio vaskuler
Inspeksi edema jaringan
Palpasi frekuensi HR > 100 x/menit, irama
regular/ireguler, akral dingin, kapilar repil > 3 detik
Auskultasi Tekanan darah hipotensi, irama
jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan
6)
Abdomen
Inspeksi : mual muntah
Auskultasi : peristaltik usus bisa
menurun atau meningkat
7)
Genetalia
Vagina
: warna secret Anus : pelebaran
vena ani/tidak
Mukosa
: vesikel, bula, erosi, perdarahan, krusta berwarna merah
8)
Ektermitas
Edema,
tremor, rom terbatas, akral dingin
h.
Pemeriksaan Diagnostik
1)
Laboratorium
: leukositosis atau esosinefilia
2)
Histopatologi
: infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
3)
Imunologi
: deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
2.
Diagnosa Keperawatan Utama
a) Kekurangan volume cairan tubuh
berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke dalam rongga
interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan kulit akibat
luka.
b) Kerusakan
integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal
c) Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat respon
sekunder dari kerusakan krusta pada mokosa mulut
d) Resiko tinggi infeksi
b.d penurunan imunitas, dan hilangnya pertahanan barier , dan adanya pord de
entere pada lesi
e) Nyeri b.d
kerusakan jaringan lunak , erosi jaringan
3.
Intervensi dan Rasionalisasi
No
|
Diagnosa Keperawatam
|
Tujuan dan kriteria
hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kekurangan volume cairan tubuh
berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke dalam rongga
interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan kulit
akibat luka.
|
Dalam waktu 1
X 24 jam tidak
terjadi kekurangan volume cairan
Kriteria hasil :
-
Haluaran urine individu adekuat (0,5-1,0 mg/kg BB/jam)
-
Urin jernih dan berwarna kuning
-
Membran mukosa lembab
-
TD normal (100-139/60-96 mmHg)
-
Denyut nadi (60-100 x/menit)
-
Kadar elektrolit serum dalam batas normal
|
• Identifikasi penyebab SJS, dan
derajat SJS dan faktor mortalitas berdasarkan scorten
• Observasi tanda vital
•
Monitor dan catat cairan yang masuk dan
keluar
•
Kolaborasi skor dehidrasi
Terapi cairan dan
elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
|
• Parameter
penentu kedaruratan. Kehilangan cairan dengan derajat II yaitu terdapat bula
10-30 %
•
Dengan
memeriksa TTV mengetahui
perkembangan keadaan pasien
• Cairan
yang diberiakan dilakukkan menurut program medis volume cairan juga harus
sebanding dengan volume aoutput
• Menentukan
derajat dehidrasi dan jumalah cairan yang akan di berikan
• Terlebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan
akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infuse, misalnya dekstrosa 5%, NaCl 9% dan ringer laktat berbanding
1:1:1
|
2
|
Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan
epidermal
|
Dalam5 X 24 jam
integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria
hasil :
Pertumbuhan
jaringan membaik
|
• Kaji kerusakan
jaringan kulit yang terjadi pada klien
• Monitor dan catat cairan yang
masuk dan keluar
Lakukkan intervensi untuk mencegah komplikasi
•
Kolaborasi
pemberian kortikosteroid
• Pemeberian
antibiotik
|
Menjadi data
dasar untuk melakukkan intervensi
Menentukan garis dasar dimana
perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
Menurunkan iritasi garis jahitan
dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat
proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
Kortikosteroid
merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
Antibiotic
di berikan untuk pasien yang infeksi
|
3
|
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
kesulitan menelan
|
Dalam waktu
5 x 24 jam asupan nutrisi terpenuhi
Kriteria
hasil:
•
Pasien dapat mempertahankan status nutrisi yang adekuat
•
Memenuhi kebutuhan nutrisinya
|
• Kaji status
nutrisi pasien, berat badan, mukoasa oral, kemampuan menelan, dan riwayat
mual dan muntah
• Evaluasi
adanya alergi makanan dan kontra indikasi makanan
•
Timbang BB klien
|
Lesi oral
merupakan indikasi pemberian nutrisi secara sonde atau parental
Memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol,
meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
Membantu mencegah distensi
gaster/ketidaknyamanan
Meningkatkan nafsu makan Kalori protein dan vitamin untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong
regenerasi jaringan.
|
4
|
Resiko Infeksi berhubungan dengan
hilangnya barier/perlindungan kulit
|
Tujuan : tidak terjadi infeksi
local atau sistemik
Kriteria
hasil :
-
Tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri, fungsio lesi)
-
Leukosit (5000 - 10000/mm3)
-
Kultur luka memperlihatkan jumlah bakteri yang minimal
-
Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 - 37,4 C)
-
RR : 16 – 20 x/menit
-
TD : 100-139/60-96 mmHh
-
Pols : 60 – 100 x/menit
|
• Monitor tanda-tanda vital
Observasi keadaan luka dengan penentuan derajat luka
Jaga agar
luka tetap bersih atau steril
Berikan perawatan pada mata
Pantau hitung leukosit, hasil kultur dan tes sensitivitas
Berikan antibiotic
|
Perubahan tanda vital secara
drastis merupakan komplikasi lanjut untuk terjadinya infeksi
Keadaan luka
dapat di kriteriakan sebagai derajat mortalitas
Mencegah terjadinya infeksi silang
Mata dapat membengkak oleh drainase luka
Peningkatan leukosit menunjukkan infeksi, pemeriksaan
kultur dan sensitivitas menunjukkan mikroorganisme yang ada
Antibiotic yang tepat diberikan untuk
mengurangi jumlah bakteri
|
5
|
Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
|
Dalam waktu 1 X 24 jam
Melaporkan nyeri berkurang
Menunjukkan ekspresi wajah/postur
tubuh rileks
Kriteria evaluasi :
•
Pasien tidak gelisah
•
Sklanyeri menurun
•
Adanya perbaikan jaringan
•
Suhu tubuh
normal 36,5-37,5 derajat celsius
|
Kaji nyeri
dengan PQRST
Atur posisis
fisiologis
Kaji TTV
Berikan penggantian cairan IV yang dihitung, elektrolit,
plasma, albumin
Kolaborasi
dengan dokter pemberian analgetik
|
Manajemen
untuk mengetahui intervensi yang akan di berikan
Dengan posisi
fisiologis akan meningkatkan asupan oksigen kejaringan yang mengalami
peradangan
Indikator
penurunan nyeri.
Nyeri hampir selalu ada pada
beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan. Meningkatkan relaksasi,
menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
Metode IV sering digunakan pada
awal untuk memaksimalkan efek obat
Menghilangkan rasa nyeri
|
pathwaynya mna
BalasHapus