LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR TIBIA ET FIBULA
( CRURIS )
Compiled by
:
LINA AYU
PRAMATASARI
A.
Definisi
Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur
terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya
tulang tibia dan fibula.
( Smeltzer & Bare, 2004 : 2357 )
Patah atau fraktur tibia merupakan
fraktur yang sering terjadi dibandingkan fraktur batang tulang panjang lainnya.
Periost yang melapisi tibia agak tipis,
terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah
patah dan biasanya fragmen frakturnya bergeser. Karena berbeda langsung di
bawah kulit, sering ditemukan juga fraktur terbuka.
(Sjamsuhidajat,R.2004)
B.
Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
- Trauma
a. Trauma
langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
- Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti
osteoporosis, kanker tulang dan lain-lain.
- Degenerasi
Terjadi kemunduran
patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut
- Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
C.
Manifestasi
Klinis
1. Nyeri
terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas
dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan
tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5
cm
4. Krepitasi
yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari setelah cedera.
D.
Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan
di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal
tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan
ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah periostrium
dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi
akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari
plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan
proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan
gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ
yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian
menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma
hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema
yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa
menyebabkan syndrom comportement.
E.
Pathways
Terlampir
F.
Komplikasi
1. Dini
a. Compartment
syndrome
Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal
tibia tertutup. Komplikasi ini sangat berbahaya karena berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam
kelangsungan hidup tungkai bawah. Yang paling sering terjadi yaitu anterior
compartment syndrome.
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia
terjadi perdarahan intra-kompartemen, hal ini akan menyebabkan tekanan
intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran balik darah vena terganggu. Hal
ini akan menyebabkan oedem tekanan intrakompartemen makin meninggi sampai
akhrinya sedemikian tinggi sehingga menyumbat aarteri di intrakomparmen.
Gejala: rasa sakit pada tungkai bawah
dan temukan paraesthesia. Rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan secar
pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada
oto-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibial
anterior. Tekanan intrakompatemen dapat diukur langsung dengan cra whitesides.
Penanganan: dalam waktu kurang 12jam harus dilakukan fasciotomi.
2. Lanjut
a. Malunion:
biasanya terjadi pada fraktur yang
kominutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan
rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
b. Delayed
union: terutama terjadi padda fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau
pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat di atasi dengan operasi tandur
alih tulang spongiosa.
c. Non
union: disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan
infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara
papineau.
d. Kekakuan
sendi: hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada
persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak. Hal ini dapat
diatasi dengan fisioterapi
G.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan
rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2. Scan
tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler
dicurigai.
4. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (
hemokonsentrasi ) atau menurun (
pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klien ginjal.
(Doenges, 2004 : 762)
H.
Penatalaksanaan
Medis
Ada empat konsep
dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam
hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat
kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi
tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan
manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat
dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips.
Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV,
sedative atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan
teknik fiksator eksterna.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi
dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin
sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan
untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361 )
Kebanyakan fraktur tibia tertutup
ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal dengan gips sepanjang
tungkai jalan atau patellar – tendon –
bearing. Reduski harus relative akurat dalam hal angulasi dan rotasinya.
Ada saatnya di mana sangat sulit mempertahankan reduksi, sehingga perlu
dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan gips (mis.
Teknik pin dalam gips) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan berat
badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 samapi 10 hari. Aktivitas akan
mengurangi edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi gips
tungkai pendek atau brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan
lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
Fraktur terbuka atau komunitif dapat
ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna dengan batang, plat atau nail,
atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut harus didorong dalam batas alat
imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya 4 sampai 6
minggu.
( Smeltzer & Bare & Bare, 2001 : 2386 )
I.
Gambaran
Umum ORIF ( Open Reduduction Intra
Fixation )
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)
atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi Internal. ORIF akan mengimobilisasi fraktur
dengan melakukan pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen kedalam
tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara
bersamaan.
J.
Pengkajian
Menurut Doenges, Marilynn. 2000 :
761 adalah data dasar pengkajian klien adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas/Istirahat
Tanda : Keterbatasan
atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu
sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi
(kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) dan
hipotensi. Takikardia (respon stress, hipovolemia). Penurunan atau tak ada nadi
pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian
yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas
lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan
atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas
atau trauma lain).
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot setelah imobilisasi).
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot setelah imobilisasi).
e. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
f. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan atau perawatan rumah
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan atau perawatan rumah
K.
Diagnosa
Keperawatan
Menurut Doenges, Marilynn dan Lynda
juall, Carpenito diagnosa keperawatan yang dapat di tegakkan pada klien dengan
fraktur meliputi :
a.
Resiko tinggi trauma
berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
b.
Nyeri akut berhubungan
dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan
lunak.
c.
Resiko tinggi disfungsi
neurovaskuler perifer, berhubungan dengan penurunan aliran darah ; cedera
vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
d.
Resiko tinggi kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak,
perubahan membran alveolar atau kapiler.
e.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktik
(imobilisasi tungkai).
f.
Resiko tinggi kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah
perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
g.
Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit, trauma
jaringan, terpajan pada lingkungan.
h.
Kurang pengetahuan
(kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan)
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
L.
Intervensi
Keperawatan
1. Resiko
tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan
stabilisasi dan posisi fraktur
b. Menunjukkan
mekanika tubuh yang meningkat stabilisasi pada sisi fraktur.
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring atau ekstremitas
sesuai indikasi.
2) Letakan
papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
3) Sokong
fraktur dengan bantalan atau gulungan selimut.
2. Nyeri
akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera
pada jaringan lunak.
Kriteria hasil :
a. Menyatakan
nyeri hilang
b. Menunjukkan
tindakan santai, maupun beradaptasi dalam aktivitas hidup
Intervensi :
1) Pertahankan
imobilisasi
2) Tinggikan
dan dukung ekstremitas yang terkena
3) Berikan
alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan punggung, perubahan
posisi.
4) Selidiki
adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba atau dalam, lokasi progesif
atau buruk tidak hilang dengan analgetik.
5) Lakukan
kompres dingin atau es 24 – 48 jam pertama dan sesuai keperluan.
6) Berikan
obat sesuai indikasi.
3.
Resiko tinggi disfungsi
neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah; cedera
vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
Kriteria hasil :
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan
oleh terabanya nadi, kulit, hangat atau kering, sensasi normal, sensori biasa,
tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Lepaskan
perhiasan dari ekstremitas yang sakit
2) Kaji
aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3) Kaji
jaringan sekitar gips untuk titik yang kasar atau tekanan. Selidiki keluhan
“rasa terbakar“ dibawah gips.
4) Selidiki
tanda iskemia
5) Awasi
tanda vital
4. Resiko
tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau
emboli lemak, perubahan membran alveolar atau kapiler.
Kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat,
dibuktikan oleh tidak adanya sianosis.
Intervensi :
1) Awasi
frekuensi pernafasan
2) Instruksikan
dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk. Reposisi dengan sering.
3) Berikan
tambahan O2 bila diindikasikan.
4) Perhatikan
peningkatan kegelisahan, kacau, latergi, stupor.
5. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
Kriteria hasil :
a. Meningkatkan
atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
b. Mempertahankan
posisi fungsional.
c. Meningkatkan
kekuatan atau fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
Intervensi :
1) Kaji
derajat imobilitas
2) Dorong
partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
3) Dorong
penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tak sakit.
4) Bantu
atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
5) Auskultasi
bising usus.
6. Resiko
tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur
terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
Kriteria hasil :
a. Menyatakan
ketidaknyaman hilang
b. Menunjukkan
perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan penyembuhan
sesuai indikasi.
c. Mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan lesi terjadi.
Intervensi :
1) Kaji
kulit untuk luka terbuka.
2) Masase
kulit dan penonjolan tulang.
3) Bersihkan
kulit dengan menggunakan sabun dan air.
4) Ubah
posisi dengan sering.
7. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan
kulit; trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.
Kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas
drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :
1) Inspeksi
kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
2) Berikan
perawatan steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
3) Instruksikan
pasien untuk tidak menyebutkan sisi insersi.
4) Awasi
pemeriksaan laboratorium.
5) Berikan
obat sesuai indikasi seperti antibiotika.
8. Kurang
pengetahuan ( kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan ) berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
a. Menyatakan
pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
b. Melakukan
dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1) Kaji
ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
2) Beri
penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapi fisik
bila diindikasikan.
3) Dorong
pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi diatas dan dibawah fraktur.
M.
Pendokumentasian
Pelaksanaan tindakan
keperawatan diikuti dengan dokumentasi yang lengkap dan akurat terhadap suatu
kejadian dalam proses keperawatan. Jenis catatan keperawatan yang digunakan
untuk mendokumentasikan tindakan keperawatan adalah catatan perkembangan
SOAPIE.
S
|
:
|
Data subjektif. Perkembangan didasarkan pada apa yang
dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.
|
O
|
:
|
Data objektif. Perkembangan yang bisa diamati dan
diukur oleh perawat.
|
A
|
:
|
Analisis. Kedua jenis data tersebut, baik subjektif
maupun objektif, dinilai dan dianalisis, apakah berkembang ke arah perbaikan
atau kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai di mana masalah yang
ada dapat teratasi/ adakah perkembangan masalah baru yang menimbulkan
diagnosa keperawatan baru.
|
P
|
:
|
Rencana penanganan klien,
dalam hal ini didasarkan pada hasil analisis di atas yang berisi melanjutkan
rencana sebelumnya apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat
rencana baru bila rencana awal tidak efektif.
|
I
|
:
|
Implementasi. Tindakan yang dilakukan berdasarkan
rencana.
|
E
|
:
|
Evaluasi. Berisi penilaian tentang sejauh mana rencana
tindakan dan evaluasi telah dilaksanakan, dan sejauh mana masalah klien
teratasi. (Hidayat, 2001)
|
DAFTAR PUSTAKA
Doenges,
Marilynn E. et.al. 2004, Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2006. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Smeltzer,
Suzanne C. Bare Brenda G. 2004. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Syaifuddin.
2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa
Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.
Ada pathway nya gak???
BalasHapusMohon maaf untuk pathway bisa saya kirim melalui email, thanks
HapusBisa minta Pathway nya kak?
HapusBoleh minta pathwaynya kak
BalasHapus