Langsung ke konten utama

ASKEP FRAKTUR TIBIA ET FIBULA ( CRURIS )


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR TIBIA ET FIBULA
( CRURIS )

Compiled by :

LINA AYU PRAMATASARI

A.      Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula.
( Smeltzer & Bare, 2004 : 2357 )
Patah atau fraktur tibia merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan fraktur batang tulang panjang lainnya. Periost yang melapisi  tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen frakturnya bergeser. Karena berbeda langsung di bawah kulit, sering ditemukan juga fraktur terbuka.
(Sjamsuhidajat,R.2004)

B.      Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
    1. Trauma
a.     Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b.     Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
    1. Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-lain.
    1.  Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut
    1. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

C.      Manifestasi Klinis
1.      Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang   diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.      Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi  normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3.      Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah  tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4.      Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5.      Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.

D.      Patofisiologi

Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom comportement.

E.      Pathways
Terlampir

F.       Komplikasi
1.     Dini
a.     Compartment syndrome
Komplikasi  ini terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup. Komplikasi ini sangat berbahaya karena berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai bawah. Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartment syndrome.
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra-kompartemen, hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedem tekanan intrakompartemen makin meninggi sampai akhrinya sedemikian tinggi sehingga menyumbat aarteri di intrakomparmen.
Gejala: rasa sakit pada tungkai bawah dan temukan paraesthesia. Rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan secar pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada oto-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibial anterior. Tekanan intrakompatemen dapat diukur langsung dengan cra whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12jam harus dilakukan fasciotomi.
2.     Lanjut
a.     Malunion: biasanya terjadi  pada fraktur yang kominutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
b.     Delayed union: terutama terjadi padda fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat di atasi dengan operasi tandur alih tulang spongiosa.
c.      Non union: disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau.
d.     Kekakuan sendi: hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak. Hal ini dapat diatasi dengan fisioterapi

G.      Pemeriksaan Penunjang

1.     Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2.     Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3.     Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4.     Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun (  pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5.     Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
(Doenges, 2004 : 762)

H.      Penatalaksanaan Medis
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a.     Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b.     Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.
c.       Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
d.     Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361 )

      Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar – tendon – bearing. Reduski harus relative akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saatnya di mana sangat sulit mempertahankan reduksi, sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan gips (mis. Teknik pin dalam gips) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 samapi 10 hari. Aktivitas akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi gips tungkai pendek atau brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
      Fraktur terbuka atau komunitif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna dengan batang, plat atau nail, atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut harus didorong dalam batas alat imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya 4 sampai 6 minggu.
( Smeltzer & Bare & Bare, 2001 : 2386 )


I.      Gambaran Umum ORIF ( Open Reduduction Intra Fixation )

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi Internal. ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. 

J.       Pengkajian
             Menurut Doenges, Marilynn. 2000 : 761 adalah data dasar pengkajian klien adalah sebagai berikut :
a.     Aktivitas/Istirahat
Tanda : Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b.     Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) dan hipotensi. Takikardia (respon stress, hipovolemia). Penurunan atau tak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c.      Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas atau trauma lain).
d.     Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot setelah imobilisasi).
e.     Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
f.       Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan atau perawatan rumah

K.      Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges, Marilynn dan Lynda juall, Carpenito diagnosa keperawatan yang dapat di tegakkan pada klien dengan fraktur meliputi :
a.         Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
b.         Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak.
c.         Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer, berhubungan dengan penurunan aliran darah ; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
d.         Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak, perubahan membran alveolar atau kapiler.
e.         Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktik (imobilisasi tungkai).
f.          Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
g.         Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.
h.        Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan) berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
L.       Intervensi Keperawatan
1.     Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
Kriteria hasil :
a.     Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
b.     Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkat stabilisasi pada sisi fraktur.
Intervensi :
1)     Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi.
2)    Letakan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
3)    Sokong fraktur dengan bantalan atau gulungan selimut.
2.     Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Kriteria hasil :
a.     Menyatakan nyeri hilang
b.     Menunjukkan tindakan santai, maupun beradaptasi dalam aktivitas hidup
Intervensi :
1)     Pertahankan imobilisasi
2)     Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena
3)     Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan punggung, perubahan posisi.
4)     Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba atau dalam, lokasi progesif atau buruk tidak hilang dengan analgetik.
5)     Lakukan kompres dingin atau es 24 – 48 jam pertama dan sesuai keperluan.
6)     Berikan obat sesuai indikasi.
3.         Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
Kriteria hasil :
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit, hangat atau kering, sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1)     Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit
2)     Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3)     Kaji jaringan sekitar gips untuk titik yang kasar atau tekanan. Selidiki keluhan “rasa terbakar“ dibawah gips.
4)     Selidiki tanda iskemia
5)     Awasi tanda vital

4.     Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak, perubahan membran alveolar atau kapiler.
Kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat, dibuktikan oleh tidak adanya sianosis.
Intervensi :
1)    Awasi frekuensi pernafasan
2)    Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk. Reposisi dengan sering.
3)    Berikan tambahan O2 bila diindikasikan.
4)    Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, latergi, stupor.

5.     Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
Kriteria hasil :
a.     Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
b.     Mempertahankan posisi fungsional.
c.      Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
Intervensi :
1)    Kaji derajat imobilitas
2)    Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
3)    Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tak sakit.
4)    Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
5)    Auskultasi bising usus.

6.     Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
Kriteria hasil :
a.     Menyatakan ketidaknyaman hilang
b.     Menunjukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
c.      Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan lesi terjadi.
Intervensi :
1)     Kaji kulit untuk luka terbuka.
2)     Masase kulit dan penonjolan tulang.
3)     Bersihkan kulit dengan menggunakan sabun dan air.
4)     Ubah posisi dengan sering.

7.     Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit; trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.
Kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :
1)    Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
2)    Berikan perawatan steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
3)    Instruksikan pasien untuk tidak menyebutkan sisi insersi.
4)    Awasi pemeriksaan laboratorium.
5)    Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotika.
8.     Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan ) berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
a.     Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
b.     Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1)     Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
2)     Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapi fisik bila diindikasikan.
3)     Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi diatas dan dibawah fraktur.

M.   Pendokumentasian
Pelaksanaan tindakan keperawatan diikuti dengan dokumentasi yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan. Jenis catatan keperawatan yang digunakan untuk mendokumentasikan tindakan keperawatan adalah catatan perkembangan SOAPIE.
S
:
Data subjektif. Perkembangan didasarkan pada apa yang dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.
O
:
Data objektif. Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat.
A
:
Analisis. Kedua jenis data tersebut, baik subjektif maupun objektif, dinilai dan dianalisis, apakah berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai di mana masalah yang ada dapat teratasi/ adakah perkembangan masalah baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.
P
:
Rencana penanganan klien, dalam hal ini didasarkan pada hasil analisis di atas yang berisi melanjutkan rencana sebelumnya apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat rencana baru bila rencana awal tidak efektif.
I
:
Implementasi. Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.
E
:
Evaluasi. Berisi penilaian tentang sejauh mana rencana tindakan dan evaluasi telah dilaksanakan, dan sejauh mana masalah klien teratasi. (Hidayat, 2001)




























DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. et.al. 2004, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Rasjad, Chairuddin. 2006. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.

Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal  Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fixed Drugs Eruption (FDE)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagiantubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macamgangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlahmekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmenmelanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari. Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulka

Asuhan Keperawatan Ulkus Diabetikum

Compiled by : LINA AYU PRAMATASARI Definisi Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2005) Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati perifer. (Andyagreeni, 2010) Ulkus Diabetik merupakan komplikasi kronik dari Diabetes Melllitus sebagai sebab utama morbiditas, mortalitas serta kecacatan penderita Diabetes. Kadar LDL yang tinggi memainkan per

Asuhan Keperawatan Post Partum H-0 (Persalinan Normal)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.        PENGERTIAN Post partum adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan kembali sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Lama masa nifas ini yaitu 6 – 8 minggu (Mochtar, 200 8). Akan tetapi seluruh alat genital akan kembali dalam waktu 3 bulan (Hanifa, 200 4 ). Selain itu masa nifas / purperium adalah masa partus selesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu (Mansjoer et.All. 2008 ) . B.      TAHAPAN MASA NIFAS 1.       Puerperium Dini, yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. dalam agama islam, dianggap bersih dan dapat bekerja setelah 40 hari post partum. 2.       Puerperium Intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia yang lamanya 6-8 minggu. 3.       Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, berbulan-bula